Masyarakat Karo adalah salah satu etnis
yang ada di Sumatera Utara. Etnis ini masuk ke dalam etnis Batak. Secara
administrasi negara, Karo sebagai wilayah adalah sebuah Kabupaten
dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 atau 3,01 % dari luas wilayah Propinsi
Sumatera Utara.
Akan tetapi bila membicarakan wilayah
budaya masyarakat Karo secara tradisional, masyarakat Karo tidak hanya
mencakup Kabupaten Dati II Karo sekarang ini saja, tetapi mencakup
kewedanaan Karo Jahe yang mencakup daerah tingkat II Deli Serdang,
terdiri dari Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Biru-Biru, Kecamatan
Sibolangit, Kecamatan Lau Bakeri dan Kecamatan Namorambe (Tambun,
1952:177-179), Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan
STM Hulu, Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan
Galang, Kecamatan Tanjong Morawa, Kecamatan Deli Tua, Kecamatan
Patumbak, Kecamatan Sunggal (Brahmana, 1995:11). Di daerah tingkat II
Langkat mencakup Kecamatan Sei Binge, Kecamatan Salapian dan Kecamatan
Bahorok, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai dan Kecamatan Padang
Tualang. Di daerah tingkat II Dairi, di Kecamatan Tanah Pinem,
Kutabuluh, di daerah tingkat II Simalungun di sekitar perbatasan Karo
dengan Simalungun, dan di daerah Aceh Tenggara (Prop NAD). Di
daerah-daerah ini banyak ditemukan masyarakat Karo.
Masyarakat Karo dan Hindu
Dalam beberapa literatur tentang Karo,
etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama
kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah
Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi
Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar
(1991:1617), sebelum klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan
Perangin-Angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang, telah ada
penduduk asli Karo pertama yakni klen Karo Sekali. Kedatangan kelompok
klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-Angin, akhirnya
membuat klen pada masyarakat Karo semakin bertambah. Klen Ginting
misalnya adalah petualangan yang datang ke Tanah Karo melalui pegunungan
Layo Lingga, Tongging dan akhirnya sampai di Dataran Tinggi Karo. Klen
Tarigan adalah petualangan yang datang dari Simalungun dan Dairi.
Perangin-angin adalah petualangan yang datang dari Tanah Pinem Dairi.
Sembiring diidentifikasikan berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang
terdesak oleh pedagang Arab di Pantai Barus menuju Dataran Tinggi Karo,
karena mereka sama-sama menuju dataran tinggi Karo, kondisi ini
akhirnya, menurut Sangti mendorong terjadi pembentukan merga si lima
(Marga yang lima). Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan
menurut garis bapak (secara genealogis patrilineal) seperti di Batak
Toba, tetapi sesuai dengan proses peralihan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo Baru yakni lebih kurang
pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan keamanan, sebagai
salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-orang
yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli.
Kini hasil pembentukan klen ini akhirnya
melahirkan merga si lima (klen yang lima) yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat Karo saat ini. Akhirnya masyarakat Karo yang terdiri
dari merga si lima yang berdomisili di Dataran Tinggi, kemudian
menyebar ke berbagai wilayah di sekitarnya, seperti ke Deli Serdang,
Dairi Langkat, Simalungun dan Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahkan secara
individu kini mulai menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, maupun ke
luar wilayah negara Indonesia.
Tidak dapat disangkal, walaupun
kebudayaan Hindu telah mengalami masa surut pada daerah di Indonesia
akibat didesak oleh Islam dan Kristen, namun sisa-sisa keberadaannya
yang bersifat monumental masih banyak ditemukan. Di Sumatera, di Jawa
maupun di daerah lainnya, dalam bentuk fisik, masih kokoh berdiri
bangunan Candi, sedangkan dalam bentuk non-fisik, seperti agama Hindu,
bahasa maupun tatacara kehidupan masyarakat masih dapat ditemui pada
kelompok-kelompok masyarakat Indonesia tertentu. Khusus pada masyarakat
Karo, peninggalan Hindu yang paling monumental adalah marga yaitu marga
Sembiring.
Marga Sembiring dan Keturunan Masyarakat Hindu
Dari sekian banyak peninggalan Hindu yang
terdapat pada masyarakat Karo, barangkali yang keabadiannnya kelak
melebihi usia bangunan Candi adalah marga yaitu marga Sembiring.
Sejak kapan resmi Sembiring menjadi
bagian dari marga masyarakat Karo, tidak diketahui pasti. Tetapi
diperkirakan Sembiring ini adalah marga yang termuda dari lima cabang
marga yang ada pada masyarakat Karo.
Sembiring berasal dari kata Si + e +
mbiring. Mbiring artinya hitam. Si e mbiring artinya yang ini hitam.
Melihat makna kata Si e mbiring, kiranya cukup jelas bahwa yang dimaksud
adalah segerombolan manusia yang berkulit hitam. Bagi penduduk Asia
Tenggara, orang-orang yang berkulit hitam ini adalah orang Tamil atau
Keling yang berasal dari Asia Selatan (India).
Penyebaran atau kedatangan orang-orang
Tamil ini diperkirakan tidak bersamaan waktunya. Penyebarannya secara
bergelombang. Kedatangan mereka ke dataran tinggi Karo, tidak secara
langsung. Boleh jadi setelah beberapa tahun atau puluhan tahun menetap
di sekitar pantai Pulau Sumatera. Mereka ini masuk ke dataran tinggi
Karo, boleh jadi terutama disebabkan terdesak oleh pedagang-pedagang
Arab dengan Agama Islamnya.
Brahma Putro menyebutkan kedatangan orang
Hindu ini ke pegunungan (Tanah Karo) di sekitar tahun l33l-l365 masehi.
Mereka sampai di Karo disebabkan mengungsi karena kerajaan Haru Wampu
tempat mereka berdiam selama ini diserang oleh Laskar Madjapahit. akan
tetapi ada pula yang memberikan hipotesa, penyebaran orang-orang Tamil
ini akibat terdesak oleh pedagang-pedagang Arab (Islam) yang masuk dari
Barus.
Orang-orang Tamil (+ pembauran) yang
kalah bersaing ini lalu menyingkir ke pedalaman pulau Sumatera, salah
satu daerah yang mereka datangi adalah Tanah Karo. Menurut cerita-cerita
dari tetua, kedatangan mereka di Tanah Karo diterima dengan baik.
Mereka disapa dengan si mbiring. Akhirnya pengucapan si mbiring berubah
menjadi Sembiring dan kemudian menjadi marga yang kedudukannya sama
dengan marga yang lain.
Pembagian Marga Sembiring
Adapun pembagian marga Sembiring, setelah resmi menjadi bagian dari masyarakat Karo adalah sebagai berikut
No | Sembiring | Desa Asal (Kuta Kemulihen) | ||||||||||||||||||||||||||||||
1 | Kembaren | Samperaya, Liangmelas | ||||||||||||||||||||||||||||||
2 | Sinulaki | Silalahi, Paropo | ||||||||||||||||||||||||||||||
3 | Keloko | Pergendangen, Tualang, Paropo | ||||||||||||||||||||||||||||||
4 | Pandia | Seberaya, Payung, Beganding | ||||||||||||||||||||||||||||||
5 | Gurukinayan | Gurukinayan, Gunungmeriah | ||||||||||||||||||||||||||||||
6 | Brahmana | Rumah Kabanjahe, Perbesi, Limang, Bekawar | ||||||||||||||||||||||||||||||
7 | Meliala | Sarinembah, Kidupen, Rajaberneh, Naman, Munte | ||||||||||||||||||||||||||||||
8 | Depari | Seberaya, Perbesi, Munte | ||||||||||||||||||||||||||||||
9 | Pelawi | Ajijahe, Perbaji, Selandi, Perbesi, Kandibata. | ||||||||||||||||||||||||||||||
10 | Maha | Martelu, Pandan, Pasirtengah | ||||||||||||||||||||||||||||||
11 | Sinupayung | Jumaraja, Negeri | ||||||||||||||||||||||||||||||
12 | Colia | Kubucolia, Seberaya | ||||||||||||||||||||||||||||||
13 | Pandebayang | Buluhnaman, Gurusinga | ||||||||||||||||||||||||||||||
14 | Tekang | Kaban | ||||||||||||||||||||||||||||||
15 | Muham | Susuk, Perbesi | ||||||||||||||||||||||||||||||
16 | Busok | Kidupen, Lau Perimbon | ||||||||||||||||||||||||||||||
17 | Sinukaban | Tidak diketahui lagi desa asalnya | ||||||||||||||||||||||||||||||
18 | Keling | Rajaberneh, Juhar | ||||||||||||||||||||||||||||||
19 | Bunu Aji | Kutatengah, Beganding | ||||||||||||||||||||||||||||||
20 | Sinukapar | Sidikalang, Sarintonu, Pertumbuken | ||||||||||||||||||||||||||||||
Catatan: Desa asal ini dapat berarti desa yang dibangun atau didirikan oleh subklen marga tersebut, atau desa awal yang mereka tempati sejak menjadi bagian dari masyarakat Karo atau desa asal mereka dari daerah luar budaya Karo. Beberapa desa asal ini seperti Silalahi, Paropo, tidak terletak dalam wilayah Kabupaten Karo, tetapi terletak dalam wilayah Batak yang lain. |
Sembiring dari Pagaruyung dan Sembiring dari Tamil
Klen Sembiring pada masyarakat tersebut
di atas berasal dari dua sumber, sumber pertama yang berasal dari Hindu
Tamil dan yang kedua berasal dari Kerajaan Pagarruyung. Sembiring yang
berasal dari Hindu Tamil disebut Sembiring Singombak. Dijuluki Sembiring
Singombak karena dahulu, apabila ada keluarga mereka yang meninggal
dunia, mereka tidak mengubur jenasahnya tetapi memperabukannya (dibakar)
dan abunya ditaburkan di Lau Biang (Sungai Wampu). Mereka ini
berpantang memakan daging anjing. Sembiring Singombak ini terdiri dari
15 sub marga yaitu Brahmana, Pandia, Colia, Gurukinayan, Keling, Depari,
Pelawi, Bunu Aji, Busok, Muham, Meliala, Pande Bayang, Maha, Tekang dan
Kapur.
Kelompok Sembiring Brahmana, Pandia,
Colia, Gurukinayan dan Keling menganggap mereka seketurunan, sehingga
mereka tidak boleh mengadakan perkawinan antar sesama mereka. Demikian
pula dengan Depari, Pelawi, Bunu Aji dan Busok, mereka ini juga
menganggap seketurunan dan pantang mengadakan perkawinan antar sesama
mereka. Namun kesembilan sub marga Sembiring yang terbagi ke dalam dua
kelompok ini, boleh mengadakan perkawinan sesama mereka di luar dari
kelompoknya.
Sedangkan Sembiring yang berasal dari
Kerajaan Pagarruyung terdiri dari lima sub marga yaitu Sembiring
Kembaren, Keloko, Sinulaki, Sinupayung dan Bangko. Kelompok Sembiring
ini juga memperabukan jenasah keluarga mereka yang meninggal dunia,
tetapi abu jenasahnya mereka kubur. Bukan dibuang seperti yang dilakukan
kelompok Sembiring Singombak. Mereka ini tidak berpantang memakan
daging anjing.
Sama seperti kelompok Sembiring
Singombak, kelompok Sembiring yang berasal dari Kerajaan Pagarruyung
ini juga dilarang mengadakan perkawinan sesama mereka. Khusus untuk
Sembiring Bangko. Kelompok ini sekarang berdomisili di Alas, Aceh
Tenggara dan sudah menjadi bagian dari masyarakat Alas, seperti halnya
para keturunan Raja Hindu Pagarruyung yang menetap di Sumatera Barat
sudah pula menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Saat ini pada
umumnya kelompok marga Sembiring ini sudah memeluk agama Kristen atau
Islam dan tidak lagi memperabukan jenasahnya seperti dahulu.
Adapun penyebab lahirnya sub-sub marga
ini beberapa diantaranya, diduga berasal dari nama daerah asal mereka di
India. Misalnya Sembiring Pandia diduga berasal dari daerah Pandya,
Colia dari daerah Chola, Tekang dari daerah Teykaman, Muham dari daerah
Muoham, Meliala dari daerah Malaylam, Brahmana dari kelompok Pendeta
Hindu.
Dalam hal ini, kelompok marga Sembiring
dalam masyarakat Karo, tidak memitoskan asal usulnya seperti etnis atau
kelompok marga lain. Misalnya Batak Toba, yang mengusut asal-usul
leluhurnya dari langit yang turun di puncak gunung Pusuh Buhit (Toba),
atau yang mengusul asal usulnya dan berkesimpulan dari lapisan yang
paling indah yang mereka sebut Tetoholi Ana’a yang turun di wilayah
Gomo (Nias), atau yang mengkaitkannya dengan turunan Raja Iskandar
Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Palembang (Melayu).
Dalam masyarakat Karo mitos tersebut
berkaitan dengan totem (totem yaitu kepercayaan adanya hubungan khusus
antara sekelompok orang dengan binatang atau tanaman atau benda mati
tertentu). Misalnya haram mengkonsumsi daging binatang seperti Kerbau
Putih, oleh subklen Sebayang, Burung Balam oleh subklen klen Tarigan,
Anjing oleh subklen Sembiring Brahmana.
Penutup
Dari uraian-uraian di atas, jelaslah
bahwa orang-orang yang bermarga Sembiring pada masyarakat Karo pada
mulanya bukanlah orang “Karo Asli”. Mereka adalah penduduk pendatang
yang kemudian berbaur dengan penduduk setempat, yang akhirnya menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Karo.
Gejala-gejala seperti ini dapat disamakan dengan keadaan penduduk di
pedesaan daerah Karo saat ini.
Di pedesaan Karo sekarang ini banyak
penduduknya “bukan” lagi orang Karo tetapi sudah diisi dengan penduduk
pendatang seperti dari Suku Jawa, mereka akhirnya fasih berbahasa Karo
dan diberi marga dan justru lebih Karo dari individu Karo sendiri.
Artinya banyak dari mereka lebih memahami adat istiadat masyarakat Karo
daripada individu Karo tersebut.
Ciri-ciri utama yang kini masih dapat
dikenali dari keturunan Hindu ini adalah marganya. Marganya mengingatkan
kepada asal-usulnya, tetapi bila dilihat dari fisik atau warna kulit
sudah semakin sulit. Banyak yang bermarga Sembiring tidak lagi berkulit
Hitam seperti asal-usulnya, malah banyak yang berkulit kuning langsat
mirip bangsa lain seperti Cina.
Dalam pengertian sempit Sembiring
hanyalah yang terdapat dalam masyarakat Karo, tetapi dalam pengertian
luas (lebih luas) bukan hanya yang terdapat pada masyarakat Karo saja,
tetapi semua keturunan yang berasal dari Asia Selatan yang sekarang
sudah membaur dengan penduduk setempat, yang ada di wilayah Indonesia.
apakah itu di Aceh yang sudah menjadi bagian dari masyarkat Aceh, di
Sumatera di luar masyarakat Karo yang sudah menjadi bagian dari
masyarakat setempat. Di Sumatera Barat seperti keturunan Raja Hindu
Pagarruyung yang lain yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Minang,
Jambi, Riau.
Manfaat Pengungkapan Histografi Tradisional
Apa manfaat pengungkapan histografi
tradisional seperti ini? Manfaat pengungkapan histografi tradisional
seperti ini adalah untuk menunjukkan bahwa boleh jadi, apa yang kita
klaim sebagai kemurnian etnis misalnya etnis X, etnis Y, bukanlah
berasal dari klaim etnis yang murni. Mereka yang mengidentifikasi
kelompoknya sebagai etnis X, etnis Y kini, dahulu kala sebenarnya boleh
jadi berasal dari dukungan individu-individu etnis lain yang
berasimiliasi, membaur yang akhirnya menjadi bagian etnis X, etnis Y
tersebut pada hari ini, antara lain seperti yang terjadi pada
masyarakat Karo.
Di luar masyarakat Karo, kasus yang sama
dan hampir sama misalnya di Aceh. Dari data sejarah etnis Aceh ada
pandangan yang mengatakan Aceh itu adalah akronim dari A (Arab), C
(Campa), E (Eropah – Portugis) dan H (Hindi – Hindu). Pandangan ini
berasal dari kemiripan bentuk fisik orang Aceh saat ini dengan
bangsa-bangsa yang disebut di atas. Misalnya masyarakat Aceh yang
tinggal di Kabupaten Aceh Besar, banyak yang bergelar Sayid atau
Syarifah, fisik mereka menyerupai orang Arab. Masyarakat Lamno di Aceh
Barat menyerupai orang Portugis, masyarakat Aceh di Sigli (Pidie) dan
Lhokseumawe (Aceh Utara) banyak yang mirip India (Tamil). Di Sumatera
Barat, keturunan Raja Hindu Pagarruyung. Sedangkan di luar Pulau
Sumatera, misalnya masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi ada yang berasal
dari keturunan bangsa Eropah (Portugis atau Belanda). Kini para
pembauran tersebut sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis tersebut.
Kesadaran, pemahaman seperti ini sangat
penting, agar kita sebagai individu atau sebagai kelompok tidak mudah
terjebak dalam klaim kemurnian etnis, padahal dalam klaim itu ada
spirit provokasi yang dilakukan oleh kalangan tertentu untuk
kepentingannya apakah itu atas nama etnis untuk kepentingan diri si
elit, untuk kelompok si elit atau mungkin aspirasi politik si elit di
era otonomi daerah ini khususnya dalam kepentingan pilkada atau
kepentingan lainnya yang bersifat merusak spirit multikulturalisme atau
pluralisme bangsa yang sudah terbangun sejak dahulu kala, sebelum
Indonesia menjadi satu negara.
Dari sekian banyak tulisan di internet dan biasanya ditulis
orang-orang Batak sendiri (Bukan orang Karo) yang katanya mengutip dari
“Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea,
terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987 tentang silsilah marga-marga batak
yang berasal dari Si Raja Batak banyak yang tidak masuk akal.
Tidak masuk akal disini karena dari tulisan tersebut bisa kita lihat
beberapa marga-marga yang ada di Karo dimasukkan menjadi sub Marga atau
bagian marga dari Batak itu sendiri tanpa menerangkan asal usul pasti
dari marga yang bersangkutan.
Seperti marga sembiring milala yang dimasukkan didalam bagian Keturunan
si raja huta lima misalnya. Disana marga sembiring milala disebut
adalah kakak beradik dengan marga-marga batak lainnya, seperti pardosi,
maha dan sambo.
Sementara bila kita menelisik hasil penelitian yang lebih jelas dengan
judul “PERKAWINAN SEMARGA DALAM KLAN SEMBIRING PADA MASYARAKAT KARO DI
KELURAHAN TIGA BINANGA, KECAMATAN TIGA BINANGA,KABUPATEN KARO” yang
ditulis oleh Fauziyah Astuti Sembiring S.H. menulis secara lengkap
mengenai marga sembiring ini.
Dari hasil karya ilmiah yang ditulis oleh Fauziyah Astuti Sembiring
S.H. ini terlihat jelas mengenai asal usul marga sembiring, bahkan dari
sekian banyak sub marga sembiring tersebut, dibagi pula menjadi dua
kelompok besar, yaitu si man biang dan si la man biang.
Merga sembiring milala yang di klaim pada tulisan-tulisan kutipan dari
Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea,
terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987 yang kini banyak beredar di
internet menjadi tidak masuk akal, karena marga sembiring milala sendiri
pada tulisan Fauziyah Astuti Sembiring S.H adalah marga orang karo
yang asli berasa dari India dan bukan dari tanah batak.
Berikut adalah pembagian Marga Sembiring yang ada pada masyarakat karo dan secara umum terdiri dari dua kelompok, yaitu :
A. Si man Biang (yang memakan anjing) terdiri dari :
1. Sembiring Kembaren, (asal usul marga ini dari Kuala Ayer Batu,
kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya
ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala
berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan
bernama ‘pisau bala bari’. Keturunannya kemudian mendirikan Kampung
Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan yang menyebar ke Liang Melas,
seperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negeri Jahe,
Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah, dan lain-lain.
Marga ini juga tersebar luas di Kabupaten Langkat seperti Lau Damak,
Batu Erjong-jong, Sapo Padang, Sijagat dan lain-lain).
2. Sembiring Keloko, (menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu
keturunan dengan Sembiring Kembaren. Marga Sembiring Keloko tinggal di
Rumah Tualang sebuah desa yang sudah ditinggalkan antara Pola Tebu
dengan Sampe Raya. Marga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen,
beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang).
3. Sembiring Sinulaki, (sejarah Marga Sembiring Sinulaki dikatakan juga
sama dengan sejarah Sembiring Kembaren karena mereka masih dalam satu
rumpun. Marga Sinulaki berasal dari Silalahi).
4. Sembiring Sinupayung, marga ini menurut cerita bersaudara dengan
Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri).
B. Si la man Biang (yang tidak memakan anjing) atau Sembiring Singombak terdiri dari :
1. Sembiring Brahmana
Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.
Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.
2. Sembiring Guru Kinayan
Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.
Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.
3. Sembiring Colia
Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni
kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.
4. Sembiring Muham
Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).
Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).
5. Sembiring Pandia
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.
6. Sembiring Keling
Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.
Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.
7. Sembiring Depari
Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.
Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.
8. Sembiring Bunuaji
Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.
Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.
9. Sembiring Milala
Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.
Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.
10. Sembiring Pelawi
Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.
Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.
11. Sembiring Sinukapor
Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.
Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.
12. Sembiring Tekang
Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.
Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.
Adanya perbedaan antara Sembiring Siman Biang dengan Sembiring Si La
Man Biang sebenarnya menurut Jaman Tarigan, seorang pengetua adat adalah
merupakan kelanjutan kisah dari pelarian Sembiring Keling setelah
menipu Raja Aceh yaitu dengan mempersembahkan seekor gajah putih padahal
sesungguhnya adalah seekor kerbau yang dicat dengan tepung beras.
Namun, pada saat mempersembahkannya hujan turun sehingga tepung beras
yang melumuri kerbau tersebut luntur sehingga ia harus melarikan diri.
Dalam pelariannya ia menemukan jalan buntu dan satu-satunya jalan hanya
menyeberangi sungai. Sembiring Keling tersebut tidak dapat berenang
sehingga ia bersumpah siapapun yang dapat menolongnya akan diberi
imbalan yang sesuai. Ternyata ada seekor anjing yang menolongnya
sehingga ia selamat sampai ke seberang dan dapat meloloskan diri dari
kejaran pasukan Raja Aceh. Setelah diselamatkan oleh anjing ia akhirnya
bersumpah bahwa ia, saudara-saudara dan keturunannya tidak akan memakan
anjing sampai kapanpun.
Akibat dari sumpahnya akhirnya semua Marga Sembiring yang berasal dari
India Belakang beserta keturunannya ikut menanggung akibatnya sampai
saat ini, yaitu apabila ada keturunan Sembiring Simantangken Biang yang
memakan anjing maka akan mengalami gatal-gatal di tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar